Jumat, 31 Mei 2013

ACEH SEDANG SAKIT DALAM PEREKONOMIAN

BANDA ACEH - Pengamat ekonomi Aceh, Prof Dr Raja Masbar MSc, mengungkapkan bahwa ekonomi Aceh sedang sakit. Istilah tersebut ia gunakan untuk menggambarkan kondisi ekonomi Aceh saat ini yang sangat tergantung pada sektor primer seperti pertanian dan pertambangan, tanpa diimbangi pertumbuhan di sektor jasa dan industri pengolahan.

Akibatnya, nilai ekspor Aceh dari sektor pertanian rendah karena yang diekspor bukan merupakan bahan jadi, tetapi masih berupa bahan mentah (bahan baku). “Hal ini tidak memberi dampak signifikan pada perkembangan ekonomi di Aceh,” katanya.

Raja Masbar memaparkan perkembangan perekonomian Aceh itu dalam seminar Kebijakan Fiskal dan Perkembangan Ekonomi Terkini Tahun 2013 yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di  Sulthan Hotel Banda Aceh, Selasa (30/4). Dari Kemenkeu hadir Kepala Bidang (Kabid) Analisis Sektor Riil Badan Kebijakan Fiskal, Subkhan.

Menurut mantan Dekan Fakultas Ekonomi Unsyiah ini, jika saja ekonomi Aceh di sektor skunder atau tersier seperti jasa dan industri pengolahan tumbuh sedikit saja, ia yakin hal itu akan mampu mendorong penciptaan lapangan kerja yang jauh lebih besar.

“Tapi untuk bekerja di sektor sekunder atau tersier perlu pendidikan atau softskill yang cukup. Masalahnya dengan mutu pendidikan Aceh yang masih rendah, tidak bisa menunjang sektor tersebut. Itulah mengapa banyak yang bekerja di sektor primer,” terangnya.

Diharapkan, ke depannya Aceh bisa mengekspor bahan jadi atau minimal bahan setengah jadi. Dengan demikian, dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, Raja Masbar juga mengharapkan agar anggaran yang sudah diberikan Pemerintah Pusat dapat dialokasikan secara tearah dan tepat sasaran. Sehingga semua program untuk mendukung pertumbuhan ekonomi bisa berjalan lancar.(sr)

Ekspor Aceh Perlu Diperbaiki

SEMENTARA itu, Kabid Analisis Sektor Riil Badan Kebijakan Fiskal, Subkhan, dalam paparannya lebih banyak menjelaskan soal perkembangan perekonomian Indonesia terkini, di antaranya mengenai masalah yang dihadapi Indonesia sekarang dan tantangan ke depan.

Sedangkan terkait dengan kondisi ekonomi Aceh, pernyataannya tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan Prof Dr Raja Masbar.

Kepada wartawan seusai seminar tersebut, Subkhan, mengatakan, bahwa Aceh termasuk wilayah dengan nilai ekspor tinggi di Indonesia. Di saat kondisi nilai ekspor nasional mengalami defisit, kondisi ekspor Aceh justru mengalami surplus.

“Dalam hal ekspor impor, Aceh memiliki nilai yang bagus. Hanya saja ekspor Aceh masih banyak dalam bentuk bahan baku dan hal ini perlu diperbaiki. Jadi tidak hanya bahan baku yang diekspor, tapi bahan baku tersebut diolah lebih dalam lagi menjadi lebih bagus sehingga nilai ekspornya juga bertambah sehingga mendorong peningkatan perekonomian Aceh sendiri,” katanya.(sr)

#TUGAS SOFTSKILL PEREKONOMIAN INDONESIA 4

                     Cara agar suatu daerah di Indonesia tidak terpisah dari wilayah Indonesia


Indonesia
sebagai negara kesatuan pada dasarnya dapat mengandung potensi kerawanan akibat keanekaragaman suku bangsa, bahasa, agama, ras dan etnis golongan, hal tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap potensi timbulnya konflik sosial.  Dengan semakin marak dan meluasnya konflik akhir-akhir ini, merupakan suatu pertanda menurunnya rasa nasionalisme di dalam masyarakat.
Kondisi seperti ini dapat terlihat dengan meningkatnya konflik yang bernuasa SARA, serta munculya gerakan-gerakan yang ingin memisahkan diri dari NKRI  akibat  dari ketidak puasan dan perbedaan kepentingan, apabila kondisi ini tidak dimanage dengan baik akhirnya akan berdampak pada disintegrasi bangsa.
Masalah disintegrasi bangsa merupakan salah satu prioritas pokok dalam program kerja kabinet gotong royong. Permasalahan ini sangat kompleks sebagai akibat akumulasi permasalahan Ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan yang saling tumpang tindih, apabila tidak cepat dilakukan tindakan-tindakan bijaksana untuk menanggulangi sampai pada akar permasalahannya maka akan menjadi problem yang berkepanjangan.
Bentuk-bentuk pengumpulan massa yang dapat menciptakan konflik horizontal maupun konflik vertikal harus dapat diantisipasi guna mendapatkan solusi tepat dan dapat meredam segala bentuk konflik yang terjadi.  Kepemimpinan dari tingkat elit politik nasional hingga kepemimpinan daerah sangat menentukan untuk menanggulangi konflik pada skala dini.
Upaya mengatasi disintegrasi bangsa perlu diketahui terlebih dahulu karakteristik proses terjadinya disintegrasi secara komprehensif serta dapat menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi pada tahap selanjutnya.  Keutuhan NKRI merupakan suatu perwujudan dari kehendak seluruh komponen bangsa diwujudkan secara optimal dengan mempertimbangkan seluruh faktor-faktor yang berpengaruh secara terpadu, meliputi upaya-upaya yang dipandang dari aspek asta gatra.
Fenomena Disintegrasi Bangsa
Bila dicermati adanya gerakan pemisahan diri sebenarnya sering tidak berangkat dari idealisme untuk berdiri sendiri akibat dari ketidak puasan yang mendasar dari perlakuan pemerintah terhadap wilayah atau kelompok minoritas seperti masalah otonomi daerah, keadilan sosial, keseimbangan pembangunan, pemerataan dan hal-hal yang sejenis.
Kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi) bangsa di tanah air dewasa ini yang dapat digambarkan sebagai penuh konflik dan pertikaian, gelombang reformasi yang tengah berjalan menimbulkan berbagai kecenderungan dan realitas baru.  Segala hal yang terkait dengan Orde Baru termasuk format politik dan paradigmanya dihujat dan dibongkar. Bermunculan pula aliansi ideologi dan politik yang ditandai dengan menjamurnya partai-partai politik baru. Seiring dengan itu lahir sejumlah tuntutan daerah-daerah diluar Jawa agar mendapatkan otonomi yang lebih luas atau merdeka yang dengan sendirinya makin menambah problem, manakala diwarnai terjadinya konflik dan benturan antar etnik dengan segala permasalahannya.
Penyebab timbulnya disintegrasi bangsa juga dapat terjadi karena perlakuan yang tidak adil dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah khususnya pada daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya/kekayaan alamnya berlimpah/ berlebih, sehingga daerah tersebut mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi.
Selain itu disintegrasi bangsa juga dipengaruhi oleh perkembangan politik dewasa ini.  Dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh dari statemen politik para elit maupun pimpinan nasional, yang sering mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bangsa, sebagai akibat masih kentalnya bentuk-bentuk primodialisme sempit dari kelompok, golongan, kedaerahan bahkan agama.  Hal ini menunjukkan bahwa para elit politik secara sadar maupun tidak sadar telah memprovokasi masyarakat.  Keterbatasan tingkat intelektual sebagian besar masyarakat Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para elitnya sehingga dengan mudah terpicu untuk bertindak yang menjurus kearah terjadinya kerusuhan maupun konflik antar kelompok atau golongan.
Faktor Disintegrasi Bangsa ditinjau dari Asta Gatra
a.Geografi. Indonesia yang terletak pada posisi silang dunia merupakan letak yang sangat strategis untuk kepentingan lalu lintas perekonomian dunia selain itu juga  memiliki berbagai permasalahan yang sangat rawan terhadap timbulnya disintegrasi bangsa. Dari ribuan pulau yang dihubungkan oleh laut memiliki karakteristik yang berbeda-beda dengan kondisi alamnya yang juga sangat berbeda-beda pula menyebabkan munculnya kerawanan sosial yang disebabkan oleh perbedaan daerah misalnya daerah yang kaya akan sumber kekayaan alamnya dengan daerah yang kering tidak memiliki kekayaan alam dimana sumber kehidupan sehari-hari hanya disubsidi dari pemerintah dan daerah lain atau tergantung dari daerah lain.
b. Demografi. Jumlah penduduk yang besar, penyebaran yang tidak merata, sempitnya lahan pertanian, kualitas SDM yang rendah berkurangnya lapangan pekerjaan, telah mengakibatkan semakin tingginya tingkat kemiskinankarena rendahnya tingkat pendapatan, ditambah lagi mutu pendidikan yang masih rendah yang menyebabkan sulitnya kemampuan bersaing dan mudah dipengaruhi oleh tokoh elit politik/intelektual untuk mendukung kepentingan pribadi atau golongan.
c. Kekayaan Alam. Kekayaan alam Indonesia yang melimpah baik hayati maupun non hayati akan tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi negara Industri, walaupun belum secara keseluruhan dapat digali dan di kembangkan secara optimal namun  potensi ini perlu didayagunakan dan dipelihara sebaik-baiknya untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat dalam peran sertanya secara berkeadilan guna mendukung kepentingan perekonomian nasional.
d. Ideologi. Pancasila merupakan alat pemersatu bangsa Indonesia dalam penghayatan dan pengamalannya masih belum sepenuhnya sesuai dengan nilai-nilai dasar Pancasila, bahkan saat ini sering diperdebatkan.  Ideologi pancasila cenderung tergugah dengan adanya kelompok-kelompok tertentu yang mengedepankan faham liberal atau kebebasan tanpa batas, demikian pula faham keagamaan yang bersifat ekstrim baik kiri maupun kanan.
e. Politik. Berbagai masalah politik yang masih harus dipecahkan bersama oleh bangsa Indonesia saat ini seperti diberlakukannya Otonomi daerah, sistem multi partai, pemisahan TNI dengan Polri serta penghapusan dwi fungsi BRI, sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang belum dapat diselesaikan secara tuntas karena berbagai masalah pokok inilah yang paling rawan dengan konflik sosial berkepanjangan yang akhirnya dapat menyebabkan timbulnya disintegrasi bangsa.
f. Ekonomi. Sistem perekonomian Indonesia yang masih mencari bentuk, yang dapat pemberdayakan sebagian besar potensi sumber daya nasional, serta bentuk-bentuk kemitraan dan kesejajaran yang diiringi dengan pemberantasan terhadap KKN.  Hal ini dihadapkan dengan krisis moneter yang berkepanjangan, rendahnya tingkat pendapatan masyarakat dan meningkatnya tingkat pengangguran serta terbatasnya lahan mata pencaharian yang layak.
g. Sosial Budaya. Kemajemukan bangsa Indonesia memiliki tingkat kepekaan yang tinggi dan dapat menimbulkan konflik etnis kultural.  Arus globalisasi yang mengandung berbagai nilai dan budaya dapat melahirkan sikap pro dan kontra warga masyarakat yang terjadi adalah konflik tata nilai.  Konflik tata nilai akan membesar bila masing-masing mempertahankan tata nilainya sendiri tanpa memperhatikan yang lain.
h. Pertahanan dan Keamanan. Bentuk ancaman terhadap kedaulatan negara yang terjadi saat ini menjadi bersifat multi dimensional yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, hal ini seiring dengan perkembangan  kemajuan  ilmu  pengetahuan   dan   teknologi,   informasi dan
komunikasi. Serta sarana dan prasarana pendukung didalam pengamanan   bentuk ancaman yang bersifat multi dimensional yang bersumber dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya.
Proses Terjadinya Disintegrasi Bangsa.
Disintegrasi bangsa dapat terjadi karena adanya konflik vertikal dan horizontal serta konflik komunal sebagai akibat tuntutan demokrasi yang melampaui batas, sikap primodialisme bernuansa SARA, konflik antara elite politik, lambatnya pemulihan ekonomi, lemahnya penegakan hukum dan HAM serta kesiapan pelaksanaan Otonomi Daerah.
Dari hasil penelitian diatas dapatlah dianalisis dengan menggunakan pisau astra gatra sebagai berikut :
a. Geografi. Letak Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau dan kepulauan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Daerah yang berpotensi untuk memisahkan diri adalah daerah yang paling jauh dari ibu kota, atau daerah yang besar pengaruhnya dari negara tetangga atau daerah perbatasan, daerah yang mempunyai pengaruh global yang besar, seperti daerah wisata, atau daerah yang memiliki kakayaan alam yang berlimpah.
b. Demografi. Pengaruh (perlakuan) pemerintah pusat dan pemerataan atau penyebaran penduduk yang tidak merata merupakan faktor dari terjadinya disintegrasi bangsa, selain masih rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan SDM.
c. Kekayaan Alam. Kekayaan alam Indonesia yang sangat beragam dan berlimpah dan penyebarannya yang tidak merata dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya disintegrasi bangsa, karena hal ini meliputi hal-hal seperti pengelolaan, pembagian hasil, pembinaan apabila terjadi kerusakan  akibat dari pengelolaan.
d. Ideologi. Akhir-akhir ini agama sering dijadikan pokok masalah didalam terjadinya konflik di negara ini, hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman terhadap agama yang dianut dan agama lain. Apabila kondisi ini tidak ditangani dengan bijaksana pada akhirnya dapat menimbulkan terjadinya kemungkinan disintegrasi bangsa, oleh sebab itu perlu adanya penanganan khusus dari para tokoh agama mengenai pendalaman masalah agama dan komunikasi antar pimpinan umat beragama secara berkesinambungan.
e. Politik. Masalah politik merupakan aspek yang paling mudah untuk menyulut berbagai ketidak nyamanan atau ketidak tenangan dalam bermasyarakat  dan  sering   mengakibatkan  konflik   antar  masyarakat  yang berbeda faham apabila tidak ditangani dengan bijaksana akan menyebabkan konflik sosial di dalam masyarakat. Selain itu ketidak sesuaian kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang diberlakukan pada pemerintah daerah juga sering menimbulkan perbedaan kepentingan yang akhirnya timbul konflik sosial karena dirasa ada ketidak adilan didalam pengelolaan dan pembagian hasil atau hal-hal lain seperti perasaan pemerintah daerah yang sudah mampu mandiri dan tidak lagi membutuhkan bantuan dari pemerintah pusat, konflik antar partai, kabinet koalisi yang melemahkan ketahanan nasional dan kondisi yang tidak pasti dan tidak adil akibat ketidak pastian hukum.
f. Ekonomi. Krisis ekonomi yang berkepanjangan semakin menyebabkan sebagian besar penduduk hidup dalam taraf kemiskinan. Kesenjangan sosial masyarakat Indonesia yang semakin lebar antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin dan adanya indikasi untuk mendapatkan kekayaan dengan tidak wajar yaitu melalui KKN.
g. Sosial Budaya. Pluralitas kondisi sosial budaya bangsa Indonesia merupakan sumber konflik apabila tidak ditangani dengan bijaksana.  Tata nilai yang berlaku di daerah yang satu tidak selalu sama dengan daerah yang lain. Konflik tata nilai yang sering terjadi saat ini yakni konflik antara kelompok yang keras dan lebih modern dengan kelompok yang relatif terbelakang.
h. Pertahanan Keamanan. Kemungkinan disintegrasi bangsa dilihat dari aspek pertahanan keamanan dapat terjadi dari seluruh permasalahan aspek asta gatra  itu sendiri.   Dilain pihak turunnya wibawa TNI dan Polri akibat kesalahan dimasa lalu dimana TNI dan Polri digunakan oleh penguasa sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaannya bukan sebagai alat pertahanan dan keamanan negara.
Kebijakan Penanggulangan.
Adapun kebijakan yang diperlukan guna memperkukuh upaya integrasi nasional adalah sebagai berikut :
a. Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu.
b. Menciptakan kondisi yang mendukung komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu dan membiasakan diri untuk selalu membangun konsensus.
c. Membangun kelembagaan (Pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.
d. Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa, yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah.
e. Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan efektif.
Strategi Penanggulangan
Adapun strategi yang digunakan dalam penanggulangan disintegrasi bangsa antara lain :
a. Menanamkan nilai-nilai Pancasila, jiwa sebangsa dan setanah air dan rasa persaudaraan, agar tercipta kekuatan dan kebersamaan di kalangan rakyat Indonesia.
b. Menghilangkan kesempatan untuk berkembangnya primodialisme sempit pada setiap kebijaksanaan dan kegiatan, agar tidak terjadi KKN.
c. Meningkatkan ketahanan rakyat dalam menghadapi usaha-usaha pemecahbelahan dari anasir luar dan kaki tangannya.
d. Penyebaran dan pemasyarakatan wawasan kebangsaan dan implementasi butir-butir Pancasila, dalam rangka melestarikan dan menanamkan kesetiaan kepada ideologi bangsa.
e. Menumpas setiap gerakan separatis secara tegas dan tidak kenal kompromi.
f. Membentuk satuan sukarela yang terdiri dari unsur masyarakat, TNI dan Polri dalam memerangi separatis.
g. Melarang, dengan melengkapi dasar dan aturan hukum setiap usaha untuk menggunakan kekuatan massa.
Upaya Penanggulangan.
Dari hasil analisis diperlukan suatu upaya pembinaan yang efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan, perangkat dan kebijakan yang tepat guna memperkukuh integrasi nasional antara lain :
a. Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu.
b. Menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun consensus.
c. Membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.
d. Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah.
e. Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan bijaksana, serta efektif.

Referensi :

http://argamakmur.wordpress.com/cara-mengatasi-agar-tidak-terjadi-integrasi-suatu-bangsa/
http://balitbangdiklat.kemenag.go.id/indeks/jurnal-kediklatan/550-kesadaran-berbangsa-dan-bernegara.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Silat_Minangkabau

Senin, 22 April 2013

#TUGAS SOFTSKILL PEREKONOMIAN INDONESIA 3



PEMBANGUNAN DAERAH TINGKAT I MALUKU DALAM PJP I

Perkembangan kependudukan di Propinsi Maluku selama PJP I menunjukkan telah menurunnya laju pertumbuhan penduduk dari 2,88 persen per tahun dalam periode 1971-1980 menjadi 2,78 per tahun dalam periode 1980-1990. Dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk di kawasan timur Indonesia dan di tingkat nasional, yang masing-masing sebesar 2,4 persen dan 1,97 persen per tahun dalam periode 1980-1990, laju pertumbuhan penduduk propinsi ini termasuk tinggi.

Dalam PJP I pembangunan Propinsi Maluku telah meningkat dengan cukup berarti. Pada tahun 1990 produk domestik regional bruto (PDRB) nonmigas Propinsi Maluku atas dasar harga konstan tahun 1983 adalah sebesar Rp834.304 juta. Jika dilihat dari pangsa sumbangan sektoral terhadap pembentukan PDRB nonmigas, sektor pertanian memberikan sumbangan tertinggi (35,63 persen), diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran (21,13 persen), sektor jasa (12,9 persen), dan sektor industri pengolahan (12,35 persen).

Dalam periode 1983-1990 laju pertumbuhan PDRB nonmigas tercatat sebesar 8,45 persen per tahun. Sektor yang menunjukkan pertumbuhan cukup tinggi adalah sektor industri pengolahan (23,2 persen); sektor bank dan lembaga keuangan lainnya (22,5 persen); serta sektor listrik, gas dan air minum (13,6 persen).

PDRB nonmigas per kapita pada tahun 1990 atas dasar harga konstan tahun 1983 mencapai Rp450 ribu. Dibandingkan dengan angka tahun 1983 yang besarnya Rp311 ribu, terjadi peningkatan dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 5,31 persen per tahun.

Laju pertumbuhan perekonomian Daerah Tingkat I Maluku yang cukup pesat tersebut didukung oleh laju pertumbuhan ekspor nonmigas rata-rata sebesar 11,3 persen per tahun antara tahun 1987 dan 1992 dengan komoditas andalan produk pengolahan hasil perikanan, perkebunan, dan hasil hutan

Pembangunan di bidang kesejahteraan sosial telah menghasil­kan tingkat kesejahteraan sosial yang lebih baik yang ditunjukkan oleh berbagai indikator. Jumlah penduduk melek huruf meningkat dari 76,97 persen pada tahun 1971 menjadi 92,58 persen pada tahun 1990, angka kematian bayi per seribu kelahiran hidup turun dari 126 pada tahun 1971 menjadi 66 pada tahun 1990. Demikian pula, usia harapan hidup penduduk meningkat dari 49,2 tahun pada tahun 1971 menjadi 60,9 tahun pada tahun 1990.

Peningkatan kesejahteraan tersebut didukung oleh peningkatan pelayanan kesehatan yang makin merata dan makin luas jangkauannya. Pada tahun 1990 telah ada 18 unit rumah sakit dengan kapasitas tempat tidur 1.584 buah, dan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) serta puskesmas pembantu sebanyak 516 unit dengan jangkauan pelayanan mencakup luasan 144,4 kilometer persegi dengan penduduk yang dilayani sebanyak 3.587 orang per puskesmas termasuk puskesmas pembantu. Keadaaan ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan keadaan tahun 1972, dengan jumlah puskesmas baru mencapai 24 unit dengan jangkauan pelayanan mencakup luasan 3.104,4 kilometer persegi dan penduduk yang dilayani sebanyak 46.707 orang per puskesmas.

Tingkat pendidikan rata-rata penduduk Maluku telah menunjukkan kemajuan yang berarti, seperti diperlihatkan oleh angka partisipasi kasar sekolah dasar (SD) yang pada tahun 1992 telah mencapai 116,8 persen, dibandingkan tahun 1972 yang baru mencapai 96,9 persen. Angka partisipasi tahun 1992 tersebut lebih tinggi daripada tingkat nasional, yaitu sebesar rata-rata 107,5 persen. Tingkat partisipasi pendidikan ini didukung oleh ketersediaan sekolah yang makin meningkat. Pada tahun 1992 telah ada 2.530 unit SD yang berarti telah meningkat dibandingkan dengan tahun 1972 yang baru berjumlah 1.227 unit. Peningkatan jumlah SD dan murid didukung oleh peningkatan jumlah guru.Pada tahun 1992 tercatat 16.153 orang guru dan setiap guru SD melayani 23 murid.

Pembangunan daerah Maluku didukung oleh pembangunan prasarana yang dilaksanakan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Di bidang prasa­rana transportasi sampai dengan tahun 1992 telah dibangun dan ditingkatkan prasarana transportasi darat meliputi dermaga penye­berangan, serta jaringan jalan yang mencapai 4.545 kilometer. Ketersediaan jaringan jalan telah makin baik, seperti terlihat pada tingkat kepadatan yang mencapai rata-rata 69,5 kilometer per 1.000 kilometer persegi. Ketersediaan prasarana transportasi lainnya yang mendukung pembangunan daerah seperti prasarana transportasi laut dan transportasi udara juga telah meningkat. Propinsi Maluku memiliki 89 pelabuhan Laut yang 54 di antaranya telah memiliki fasilitas dermaga dan 15 buah yang telah memiliki fasilitas pergudangan. Dari seluruh pelabuhan yang ada, tiga pelabuhan, yaitu Ambon, Ternate, dan Banda yang telah diusaha­kan secara komersial, sedangkan sisanya merupakan pelabuhan nonkomersial dan berfungsi sebagai pelabuhan perintis, pelabuhan khusus industri, dan pelabuhan rakyat. Sistem transportasi laut di Maluku saat ini telah dilayani oleh sarana pelayaran laut dan antarpulau yang pelayanannya berskala nasional, regional dan lokal, seperti armada kapal penumpang Pelni, nusantara, perin­tis, dan armada rakyat, yang juga melayani penyeberangan antarpulau atau antarpusat permukiman. Transportasi udara di propinsi ini dilayani oleh lima bandar udara dengan Bandara Pattimura di Ambon sebagai bandar udara utama, dan bandar udara lainnya adalah Bandara Babullah di Ternate, Galela, Labuha, dan Bandaneira. Selain itu, di Maluku ada 7 bandar udara perintis yang tersebar lokasinya di beberapa pulau
yang penting peranannya bagi perekonomian daerah Maluku, seperti di Kao, Sanana, Saumlaki, Tual, Dobo, Amahai, dan Namlea. Di samping bandar udara milik pemerintah itu, terdapat lima buah lapangan terbang swasta yaitu di Gebe, Benjina, Bula, Falabisahaya, dan Bobong di Mangole. Kemudian, juga terdapat lapangan terbang milik Angkatan Udara RI Daruba di Morotai dengan kemampuan landasan untuk pesawat jenis Cassa 212 dan Twin Otter

Di bidang pengairan, meskipun masih terbatas, telah ada peningkatan prasarana pengairan, seperti bendung dan jaringan irigasi. Pada tahun 1993 jaringan irigasi yang ada telah mengairi sawah sekitar 17.000 hektare sehingga membantu peningkatan dan menunjang produksi pertanian.

Penyediaan prasarana kelistrikan di propinsi ini dilayani oleh Perusahaan Umum Listrik Negara (PLN) Wilayah IX, dan sampai dengan tahun 1991 telah menghasilkan daya terpasang sebesar 81,28 megawatt.

Investasi yang dilakukan oleh Pemerintah di Maluku melalui anggaran pembangunan yang dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Alokasi anggaran pembangunan yang berupa dana bantuan pembangunan daerah (Inpres) dan dana sektoral melalui daftar isian proyek (DIP) dalam Repelita IV dan V masing-masing berjumlah Rp515,2 miliar dan Rp875,0 miliar.

Pendapatan asli daerah (PAD) juga menunjukkan peningkatan yang cukup berarti, dengan rata-rata pertumbuhan selama Repelita V sekitar 31,75 persen per tahun. Dalam masa itu PAD telah meningkat dari Rp2,15 miliar pada tahun 1989/1990 menjadi Rp6,5 miliar pada tahun 1993/94. Peningkatan yang cukup berarti dari PAD dan bantuan pembangunan daerah dari tahun ke tahun mempengaruhi pula peningkatan belanja pembangunan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tingkat I Maluku.

Pada tahun pertama Repelita V belanja pembangunan daerah berjumlah Rp19,5 miliar dan pada tahun terakhir Repelita V meningkat menjadi Rp73,6 miliar. Bagian terbesar dari belanja pembangunan dipergunakan untuk membangun prasarana, khususnya prasarana transportasi.

Investasi swasta telah menunjukkan peningkatan. Gejala tersebut terlihat dari jumlah proyek baru penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang disetujui Pemerintah dalam masa empat tahun Repelita V, yaitu 71 proyek PMDN dengan nilai Rp 1, 34 triliun dan 3 proyek penanaman modal asing (PMA) dengan nilai US$60,1 juta.

Rencana tata ruang wilayah (RTRW) propinsi daerah tingkat I yang berupa rencana struktur tata ruang propinsi (RSTRP) dan RTRW kabupaten/kotamadya daerah tingkat II yang berupa rencana umum tata ruang kabupaten (RUTRK) telah selesai disusun, meskipun pada akhir PJP I sedang dalam proses untuk ditetapkan sebagai peraturan daerah.


Pendapat dan Kritik yang bisa diambil , menurut saya

Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dibutuhkan tenaga kerja yang berkualitas dan produktif. Kondisi ketenagakerjaan di Propinsi Maluku ditandai dengan masih besarnya jumlah tenaga kerja di sektor pertanian yang produktivitasnya relatif rendah, terutama di sektor pertanian tradisional, dibandingkan dengan tenaga kerja yang terserap di sektor nonpertanian khususnya industri dan jasa. Sektor industri dan jasa, yang berperan sebagai penggerak percepatan laju pertumbuhan ekonomi daerah, memerlukan tenaga kerja dengan produktivitas yang tinggi. Di Propinsi Maluku kondisi tenaga kerja yang tersedia umumnya belum memenuhi tuntutan tenaga kerja yang berkualitas, khususnya dalam sektor ekonomi yang cepat pertumbuhannya. Dengan demikian, untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi Propinsi Maluku, tantangannya adalah membentuk serta mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu sumber daya manusia yang produktif dan berjiwa wiraswasta yang mampu mengisi, menciptakan, dan memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha.

Untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, dibutuhkan investasi yang besar, sedangkan kemampuan investasi pemerintah terbatas sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan peningkatan investasi oleh masyarakat khususnya dunia usaha. Sehubungan dengan itu, Propinsi Maluku harus mampu menarik dunia usaha agar menanamkan modal untuk mengembangkan potensi berbagai sumber daya pembangunan di propinsi ini. Dengan demikian, Propinsi Maluku dihadapkan pada masalah untuk menciptakan iklim usaha yang menarik bagi investasi masyarakat dan dunia usaha. Dalam rangka menciptakan iklim usaha yang menarik di daerah, tantangannya adalah mengembangkan kawasan dan pusat pertumbuhan yang dapat menampung kegiatan ekonomi, memperluas kesempatan kerja, dan sekaligus memenuhi fungsi sebagai pusat pelayanan.

Pertumbuhan ekonomi yang perlu dipercepat membutuhkan dukungan prasarana dasar yang memadai, antara lain transportasi, tenaga listrik, pengairan, air bersih, dan telekomunikasi. Meskipun telah meningkat, ketersediaan prasarana dasar daerah Maluku belum memenuhi kebutuhan dan tuntutan kualitas pelayanan yang terus meningkat. Untuk daerah yang kondisi geografisnya seperti Maluku, diperlukan suatu sistem transportasi antarmoda, terutama laut dan udara yang menekankan sistem transportasi regional, pelayaran antarpulau oleh pelayaran armada rakyat yang terpadu dengan pelayaran perintis dan pelayaran nasional, serta sistem transportasi darat yang dapat meningkatkan keterkaitan wilayah produksi dengan pasar. Untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, terutama dalam distribusi barang dan jasa, diperlukan dukungan prasarana dan sarana transportasi yang memadai. Di pihak lain ada keterbatasan kemampuan pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk membangun prasarana dan sarana transportasi guna mempercepat pembangunan daerah ini. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan ketersediaan dan kualitas serta memperluas jangkauan pelayanan prasarana dasar, khususnya sistem transportasi antarmoda terutama laut dan udara secara terpadu dan optimal, dengan mengikut­sertakan dunia usaha.



Senin, 08 April 2013

#TUGAS SOFTSKILL2 PEREKONOMIAN INDONESIA


 #TUGAS SOFTSKILL2 PEREKONOMIAN INDONESIA

*Perekonomian Indonesia yang sedang berkembang*


Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada saat ini berada pada peringkat kedua dunia dengan angka pertumbuhan 6,4%. China menduduki peringkat pertama sebesar 8,7%. Hal ini membuat Indonesia menerima berbagai pujian dari berbagai pihak di dunia dan Presiden SBY pun menerima penghargaan di New York AS atas prestasinya menggerakkan pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik dalam delapan tahun terakhir. Pada saat menerima penghargaan tersebut SBY mempromosikan keberadaan Indonesia, “Investasi anda tidak akan sia-sia karena perekonomian Indonesia akan tetap bertahan di tengah gejolak global. Apalagi Indonesia menawarkan peluang emas yang harus ditangkap.” Di Indonesia, rasio utang PDB turun tajam dari 8,3% pada tahun 2001 menjadi sebesar 25% pada tahun 2011. Kelas konsumen di Indonesia juga diharapkan naik menjadi 135 juta pada tahun 2030 dari 45 juta pada tahun 2012.
Bappenas memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2014 sebesar 6,5%. Untuk pengangguran terbuka diharapkan mengalami penurunan sebesar 6%, kemisikinan menjadi 10% dan inflasi kurang dari 6,0%. Untuk lapangan pekerjaan sendiri, di tiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1% maka tenaga kerja yang terserap sejumlah 350.000 orang. Angka yang cukup besar mengingat jumlah penduduk Indonesia saat ini kurang lebih 240 juta orang dan tingkat pengangguran di tahun ini mencapai 5,8-6,1%.
Namun angka pertumbuhan ekonomi tersebut bukanlah menjadi satu jawaban kalau Indonesia sudah menjadi lebih baik. Hal ini harus didukung oleh pemerataan tingkat kesejahteraan, tidak terjadi ketimpangan pada pendapatan, dan ketersediaan infrastruktur yang memadai.
Angka makro ekonomi pada saat ini memang sangat bagus namun yang paling penting adalah pertumbuhannya harus berkualitas, sehingga nantinya rakyat akan sejahtera dikarenakan kemiskinan dan pengangguran berkurang. Pertumbuhan ekonomi masyarakat yang berkualitas tersebut tercermin dari sektor riil. Penanaman modal di dalam negeri didominasi atau sekitar 75% berasal dari pemodal asing (PMA). Hal tersebut tentu mengkhawatirkan bagi perekonomian nasional mengingat kerentanan pemodal asing jika terjadi krisis di negara asal. Data BKPM hingga smester I tahun ini, 54,9% PMA d Jawa, Sumatera (24,2%), Kalimantan (14,5%), dan sisanya pulau2 lain, mayoritas ada d Jawa. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kesenjangan pendapatan di Indonesia cenderung meningkat yang tercermin pada kenaikan rasio gini. Rasio gini yg membesar menunjukkan tingkat ketimpangan pendapatan. Sayangnya, penurunan angka kemiskinan dari tahun ke tahun tidak terlalu signifikan. Pada tahun 2011, rasio gini Indonesia tercatat sebesar 0,41, naik dibandingkan pada tahun 2002 yang hanya sebesar 0,28.
Pada Maret 2012 penduduk miskin Indonesia berjumlah 29,13 juta orang atau sebanyak 11,96% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Besarnya ketimpangan pendapatan yang terjadi sedikit banyak disebabkan ketersediaan infrastruktur yang tidak merata untuk seluruh wilayah d Tanah Air. Padahal, dinamisasi perekonomian membutuhkan infrastruktur dasar yang berkualitas. Adanya pemrioritasan pembangunan infrastruktur yang juga memperhatikan pemerataan antar wilayah di seluruh Indonesia. Hal ini demi mempersempit kesenjangan perekonomian antar daerah. Selama ini, kebijakan konsentrasi pembangunan yang hanya terfokus di wilayah Barat Indonesia, khususnya Pulau Jawa, sehingga infrastruktur di luar Pulau Jawa menjadi cukup tertinggal.
Pada RAPBN 2013 misalnya, jumlah anggaran pada subsidi energi lebih besar (Rp. 305,9 T atau sebesar 20% dari volume belanja negara di tahun 2013) dibanding jumlah anggaran pada infrastruktur (Rp. 203, 7 T). Hal ini yang membuat pertumbuhan perekonomian di Indonesia menjadi kurang berkualitas. Perlu kita catat juga bahwa perekonomian Indonesia tumbuh begitu baik dari waktu ke waktu dikarenakan negara-negara maju seperti Amerika, Eropa, dan Jepang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang kurang sehat. Pasar eksport dari negara-negara tersebut mengalami penurunan sehingga neraca perdagangan menjadi defisit dari waktu ke waktu.

analisis pendapat tentang yang terjadi saat ini adalah bahwa bisa dikatakan kalau kita bangsa Indonesia sedang bejo (nasib baik) pada saat ini dan hal itu tetap harus kita syukuri. Namun bila kita tidak segera mengevaluasi diri dan berbenah demi menciptakan perekonomian yang berkualitas tersebut, bukan tidak mungkin angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia semakin meningkat, dan sudah pasti target MDG pada tahun 2015 tidak akan tercapai .


Refresnsi :
http://tips-teknologi.blogspot.com/2012/04/krisis-ekonomi-global-dan-krisis.html
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/03/12/membaiknya-perekonomian-indonesia-sebuah-catatan-kecil-441945.html
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/12/10/ketika-perekonomian-indonesia-harus-ber-revolusi-mengikuti-perkembangan-perekonomian-dunia-515551.html

Selasa, 12 Maret 2013

Persepsi Perdagangan Bebas Indonesia - China

Persaingan Perdagangan Bebas Indonesia - China

Di era globalisasi dewasa ini, semakin banyak perjanjian Internasional yang diikuti oleh suatu negara, termasuk Indonesia. Salah satunya adalah perjanjian perdagangan bebas. Indonesia telah terikat dengan banyak perjanjian perdagangan bebas baik di tingkat Bilateral, Regional dan Multilateral. Namun perjanjian perdagangan bebas yang diharapkan dapat memberikan benefit bagi Indonesia, masih jauh dari ekspektasi. Karena belum seluruhnya memberikan benefit, khususnya dalam lingkup ASEAN-Cina Free Trade Agreement (ACFTA).

Mengacu dokumen ACFTA, tujuan perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China adalah untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama perdagangan kedua pihak dan meliberalisasikan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tariff atau bea masuk. Juga untuk mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi saling menguntungkan serta memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan menjembatani gap yang ada di antara kedua belah pihak.

Sewaktu dokumen ACFTA diteken November 2002, situasi perbandingan ekspor-impor Indonesia-Cina masih relatif setara. Sebab walaupun surplus perdagangan dinikmati Cina, namun selisihnya tidak terlalu besar. Dengan kata lain, Indonesia relatif bisa bersaing dengan produk Cina khususnya maupun negara anggota ASEAN lainnya.
Dalam konteks itu, dari segi potensi yang ditawarkan pasar bersama ASEAN, era perdagangan bebas ASEAN-China ini sebetulnya sangat menjanjikan. Artinya, ada peluang bisnis luar biasa bagi negara-negara yang terlibat di dalamnya yang sanggup memanfaatkannya. Terlebih semilyar lebih penduduk Cina terus meningkat daya belinya seiring pencapaian ekonomi mereka yang mencengangkan.

Pertanyaannya, sanggupkah kita berkompetisi dan memenangkan persaingan dalam era perdagangan bebas tersebut? Atau, jangan-jangan, justru Indonesia yang bakal menjadi “pasar bersama” barang-barang produksi Cina dan negara-negara ASEAN lainnya, yang dijual dengan harga lebih murah, dengan mutu yang setara atau lebih baik, serta dikemas lebih cantik? Hal ini sangat mengkhawatirkan pelaku industri Indonesia.


Pendapat Saya Tentang Persaingan Perdagangan dengan Cina:

Menurut saya secara pribadi, perdagangan bebas ASEAN-China akan lebih banyak merugikan Indonesia. Perdagangan bebas akan menyuburkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan mempersempit lapangan kerja karena banyak industri kecil gulung tikar akibat kalah bersaing di pasar lokal dengan industri asing. Perdagangan bebas Indonesia-Cina secara tidak langsung menghancurkan sektor-sektor negeri. Hal ini terlihat dari yang sudah terjadi pada sektor-sektor negeri dalam beberapa tahun ini akibat dari adanya perdagangan bebas ASEAN-China ini.

Sektor industri misalnya, bukannya berkembang menuju industri dewasa dan kuat (mature industry), namun malah mengalami deindustrialisasi. Tak sedikit industri dalam negeri, seperti tekstil dan alas kaki, gulung tikar karena tak mampu bersaing. Walhasil, sumbangan industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mestinya terus meningkat justru semakin menurun dan digantikan komoditas primer atau bahan mentah.

Sebagai ilustrasi, ekspor industri baja Indonesia ke Cina pada 2002 senilai 30,3 juta dollar AS dan impor 51,4 juta dollar AS. Namun tahun lalu, defisit Indonesia semakin timpang lantaran ekspor hanya 36,9 juta dollar AS, sedangkan impor 1.026 juta dollar AS (sumber BPS/Depperin).

Sejalan dengan itu, banyak asosiasi industri kita, seperti baja, plastik, tekstil, menyuarakan ketidaksanggupannya bersaing dalam era pasar bebas ASEAN-China dalam waktu dekat. Ini mengingat beban biaya produksi yang berat di Indonesia. Kenaikan harga BBM dan listrik sebagai salah satu komponen pokok produksi menjadi salah satu sebabnya. Di samping masih merajalelanya praktek KKN yang berakibat ekonomi biaya tinggi (high-cost economy), tingginya suku bunga kredit perbankan (cost of money), dan lemahnya keterkaitan industri hulu dan hilir.

Kondisi sektor pertanian lebih memprihatinkan. Sebelum pasar bebas ASEAN-China berlaku, produk buah-buahan Cina dan Thailand sudah sejak lama membanjiri pasar Indonesia. Bahkan tidak hanya dijajakan di supermarket terkemuka, melainkan sudah dijual di kaki lima atau diasongkan di atas kereta ekonomi.

Dengan kata lain, sebelum kawasan perdagangan bebas ASEAN-China dimulai, sektor pertanian Indonesia sudah dikalahkan di kandangnya sendiri. Maka bisa dibayangkan, bagaimana nasib produk pertanian kita tatkala tarif nol persen diberlakukan dalam era perdagangan bebas? Bisa dipastikan banjir produk pertanian asal Cina dan negara-negara ASEAN lainnya ke Indonesia akan semakin menjadi-jadi.

Kondisi psikologis konsumen Indonesia yang lebih mementingkan produk murah daripada produksi bangsa sendiri sangat mendukung situasi ini. Terlebih kemampuan daya beli rata-rata rakyat Indonesia masih rendah, sehingga godaan harga produk pertanian yang murah akan sulit dihalau begitu saja.

Sektor UMKM tak jauh beda. Sebelum era pasar bebas ASEAN-China diberlakukan, produk mainan anak-anak dari Cina, misalnya, sudah menyerbu pasar Indonesia, mulai dari supermarket hingga kaki lima. Belum lagi tekstil bermotif batik “made in China” dengan harga yang sangat murah, yang dipastikan akan menggerus pangsa pasar kain batik produksi perajin batik rumahan dalam negeri.

Menurut Doktor termuda bidang hukum perdagangan internasional dari Fakultas Hukum UI, Ariawan Gunadi, kehancuran industri lokal itu disebabkan pemerintah menerima secara mentah-mentah ACFTA meski industri manufaktur domestik masih lemah. Padahal, Cina maupun AS baru membuka pasarnya ketika industri manufaktur sudah kuat. Mereka pun melakukan law policy, yaitu memproteksi produk dalam negeri selama beberapa dekade. Setelah industri dalam negeri stabil, baru membuka pasar bagi negara lain.

Terkait dengan kebijakan itu Indonesia bisa belajar dari Australia dan Belanda. Kedua negara tersebut baru menerima perdagangan bebas setelah melakukan kajian khusus selama bertahun-tahun dan melibatkan partisipasi masyarakat. Sementara di Indonesia, penandatanganan ACFTA tidak melibatkan masyarakat, tahu-tahu barang-barang Cina sudah membanjiri pasar lokal.

Agar tidak tergilas Cina, Indonesia harus mampu meningkatkan daya saing. Dalam mendukung industri dalam negeri, pemerintah harus memperbaiki infrastruktur dan membuat kebijakan yang melindungi produk dalam negeri. Pola seperti itu dilakukan Malaysia. Negeri jiran itu menyadari kehadiran barang Cina akan mengancam kelangsungan industri lokal.


Langkah yang Seharusnya diambil Menurut Ahli:

Kebijakan Voluntary Export Restraint (VER) sebenarnya dapat diterapkan Indonesia. Kebijakan hukum ini pernah dilakukan Amerika Serikat (AS) ketika negaranya diserbu oleh produk Cina. Dengan VER, AS dapat meminta Cina untuk secara sukarela membatasi ekspornya ke AS. Indonesia dengan Cina dapat melakukan hal serupa dengan VER yang memungkinkan Cina mau membatasi ekspornya ke Indonesia. Diharapkan dengan adanya hal ini, dapat kembali ke titik keseimbangan perdagangan (Balance Of Trade), Mendorong negara lain untuk membuka pasarnya untuk Indonesia, karena Indonesia sudah membuka pasar yang seluas-luasnya bagi produk asing. Tugas Indonesia adalah mendorong negara lain untuk Open Market, Menerapkan SNI dan National Single Window pada sektor-sektor strategis di Indonesia. Tetapi untuk SNI yang perlu diwaspadai adalah Cina telah membeli 6.779 SNI yang telah ditetapkan oleh BSN, sehingga Cina dapat memproduksi semua produk Indonesia yang telah memiliki SNI. Survei Kemenperin menunjukkan adanya indikasi persaingan tidak seimbang antara produk dalam negeri dan produk asal Cina. Survei itu antara lain menemukan indikasi tindakan dumping pada 38 produk yang diimpor dari Cina melalui skema ACFTA. Hasil survei tersebut juga dijadikan pedoman untuk dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah.

Solusi lainnya adalah optimalkan Agreed Minutes yang telah disepakati. Agreed Minutes of the Meeting for Further Strengthening Economic and Trade Cooperation adalah kesepakatan kedua, Indonesia dengan Cina terhadap sejumlah langkah bersama yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh sektor tertentu di Indonesia yang terkena dampak ACFTA. Kemudian juga mengefektifkan fungsi Komite Anti Dumping serta menangani setiap kasus dugaan praktek anti dumping dan pemberian subsidi secara langsung oleh negara mitra dagang, lalu Mengefektifkan fungsi Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) termasuk Restrukturisasi dan Renegosiasi skema perdagangan bebas ACFTA yang saat ini telah di upayakan KADIN dan YLKI. Selain itu Indonesia perlu dapat memanfaatkan ACFTA bukan sebagai ancaman, tetapi peluang sebelum tahapan Highly Sensitive List di tahun 2018. Walaupun terdapat dampak Injuries atas keikutsertaan Indonesia dalam ACFTA yang sangat luar biasa, baik dimensi hukum maupun ekonomi.


Kesimpulan yang dapat saya ambil:

Sekarang ini nyaris tak ada keunggulan kompetitif Indonesia menyongsong era perdagangan bebas ASEAN-China. Bahkan, keunggulan komparatif pun, terkait kekayaan sumber daya alam yang bisa dijual misalnya, Indonesia masih harus bersaing keras dengan negeri jiran Malaysia.

Karena itu, perjanjian kawasan perdagangan bebas ASEAN-China ini dari segi kepentingan ekonomi Indonesia ke depan  tidak sekadar perlu direnegosiasi pemberlakuannya, tapi layak ditinjau ulang secara keseluruhan. Sebab jelas sekali posisi Indonesia cenderung sangat tidak diuntungkan.

Perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan Indonesia dengan negara lain, idealnya ditempuh dengan negara-negara yang tak memiliki produksi barang dan jasa yang relatif sama dengan Indonesia. Sehingga rezim perdagangan bebas tidak akan memukul sektor industri manufaktur, sektor pertanian, maupun UMKM dalam negeri. Sebaliknya kita justru akan memiliki keunggulan komparatif terhadap negara mitra.

Dalam konteks inilah, Indonesia mestinya mengadakan perdagangan bebas dengan negara-negara yang perekonomiannya telah memasuki tahap industri lanjut (pasca-industry), bukan negara-negara sedang berkembang. Mereka relatif tidak lagi mengandalkan sektor pertanian atau manufaktur, melainkan sudah beralih kepada industri berteknologi tinggi seperti komputer dan peranti lunak komputer.
 
 
 
Refrensi :