Selasa, 12 Maret 2013

Persepsi Perdagangan Bebas Indonesia - China

Persaingan Perdagangan Bebas Indonesia - China

Di era globalisasi dewasa ini, semakin banyak perjanjian Internasional yang diikuti oleh suatu negara, termasuk Indonesia. Salah satunya adalah perjanjian perdagangan bebas. Indonesia telah terikat dengan banyak perjanjian perdagangan bebas baik di tingkat Bilateral, Regional dan Multilateral. Namun perjanjian perdagangan bebas yang diharapkan dapat memberikan benefit bagi Indonesia, masih jauh dari ekspektasi. Karena belum seluruhnya memberikan benefit, khususnya dalam lingkup ASEAN-Cina Free Trade Agreement (ACFTA).

Mengacu dokumen ACFTA, tujuan perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China adalah untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama perdagangan kedua pihak dan meliberalisasikan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tariff atau bea masuk. Juga untuk mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi saling menguntungkan serta memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan menjembatani gap yang ada di antara kedua belah pihak.

Sewaktu dokumen ACFTA diteken November 2002, situasi perbandingan ekspor-impor Indonesia-Cina masih relatif setara. Sebab walaupun surplus perdagangan dinikmati Cina, namun selisihnya tidak terlalu besar. Dengan kata lain, Indonesia relatif bisa bersaing dengan produk Cina khususnya maupun negara anggota ASEAN lainnya.
Dalam konteks itu, dari segi potensi yang ditawarkan pasar bersama ASEAN, era perdagangan bebas ASEAN-China ini sebetulnya sangat menjanjikan. Artinya, ada peluang bisnis luar biasa bagi negara-negara yang terlibat di dalamnya yang sanggup memanfaatkannya. Terlebih semilyar lebih penduduk Cina terus meningkat daya belinya seiring pencapaian ekonomi mereka yang mencengangkan.

Pertanyaannya, sanggupkah kita berkompetisi dan memenangkan persaingan dalam era perdagangan bebas tersebut? Atau, jangan-jangan, justru Indonesia yang bakal menjadi “pasar bersama” barang-barang produksi Cina dan negara-negara ASEAN lainnya, yang dijual dengan harga lebih murah, dengan mutu yang setara atau lebih baik, serta dikemas lebih cantik? Hal ini sangat mengkhawatirkan pelaku industri Indonesia.


Pendapat Saya Tentang Persaingan Perdagangan dengan Cina:

Menurut saya secara pribadi, perdagangan bebas ASEAN-China akan lebih banyak merugikan Indonesia. Perdagangan bebas akan menyuburkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan mempersempit lapangan kerja karena banyak industri kecil gulung tikar akibat kalah bersaing di pasar lokal dengan industri asing. Perdagangan bebas Indonesia-Cina secara tidak langsung menghancurkan sektor-sektor negeri. Hal ini terlihat dari yang sudah terjadi pada sektor-sektor negeri dalam beberapa tahun ini akibat dari adanya perdagangan bebas ASEAN-China ini.

Sektor industri misalnya, bukannya berkembang menuju industri dewasa dan kuat (mature industry), namun malah mengalami deindustrialisasi. Tak sedikit industri dalam negeri, seperti tekstil dan alas kaki, gulung tikar karena tak mampu bersaing. Walhasil, sumbangan industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mestinya terus meningkat justru semakin menurun dan digantikan komoditas primer atau bahan mentah.

Sebagai ilustrasi, ekspor industri baja Indonesia ke Cina pada 2002 senilai 30,3 juta dollar AS dan impor 51,4 juta dollar AS. Namun tahun lalu, defisit Indonesia semakin timpang lantaran ekspor hanya 36,9 juta dollar AS, sedangkan impor 1.026 juta dollar AS (sumber BPS/Depperin).

Sejalan dengan itu, banyak asosiasi industri kita, seperti baja, plastik, tekstil, menyuarakan ketidaksanggupannya bersaing dalam era pasar bebas ASEAN-China dalam waktu dekat. Ini mengingat beban biaya produksi yang berat di Indonesia. Kenaikan harga BBM dan listrik sebagai salah satu komponen pokok produksi menjadi salah satu sebabnya. Di samping masih merajalelanya praktek KKN yang berakibat ekonomi biaya tinggi (high-cost economy), tingginya suku bunga kredit perbankan (cost of money), dan lemahnya keterkaitan industri hulu dan hilir.

Kondisi sektor pertanian lebih memprihatinkan. Sebelum pasar bebas ASEAN-China berlaku, produk buah-buahan Cina dan Thailand sudah sejak lama membanjiri pasar Indonesia. Bahkan tidak hanya dijajakan di supermarket terkemuka, melainkan sudah dijual di kaki lima atau diasongkan di atas kereta ekonomi.

Dengan kata lain, sebelum kawasan perdagangan bebas ASEAN-China dimulai, sektor pertanian Indonesia sudah dikalahkan di kandangnya sendiri. Maka bisa dibayangkan, bagaimana nasib produk pertanian kita tatkala tarif nol persen diberlakukan dalam era perdagangan bebas? Bisa dipastikan banjir produk pertanian asal Cina dan negara-negara ASEAN lainnya ke Indonesia akan semakin menjadi-jadi.

Kondisi psikologis konsumen Indonesia yang lebih mementingkan produk murah daripada produksi bangsa sendiri sangat mendukung situasi ini. Terlebih kemampuan daya beli rata-rata rakyat Indonesia masih rendah, sehingga godaan harga produk pertanian yang murah akan sulit dihalau begitu saja.

Sektor UMKM tak jauh beda. Sebelum era pasar bebas ASEAN-China diberlakukan, produk mainan anak-anak dari Cina, misalnya, sudah menyerbu pasar Indonesia, mulai dari supermarket hingga kaki lima. Belum lagi tekstil bermotif batik “made in China” dengan harga yang sangat murah, yang dipastikan akan menggerus pangsa pasar kain batik produksi perajin batik rumahan dalam negeri.

Menurut Doktor termuda bidang hukum perdagangan internasional dari Fakultas Hukum UI, Ariawan Gunadi, kehancuran industri lokal itu disebabkan pemerintah menerima secara mentah-mentah ACFTA meski industri manufaktur domestik masih lemah. Padahal, Cina maupun AS baru membuka pasarnya ketika industri manufaktur sudah kuat. Mereka pun melakukan law policy, yaitu memproteksi produk dalam negeri selama beberapa dekade. Setelah industri dalam negeri stabil, baru membuka pasar bagi negara lain.

Terkait dengan kebijakan itu Indonesia bisa belajar dari Australia dan Belanda. Kedua negara tersebut baru menerima perdagangan bebas setelah melakukan kajian khusus selama bertahun-tahun dan melibatkan partisipasi masyarakat. Sementara di Indonesia, penandatanganan ACFTA tidak melibatkan masyarakat, tahu-tahu barang-barang Cina sudah membanjiri pasar lokal.

Agar tidak tergilas Cina, Indonesia harus mampu meningkatkan daya saing. Dalam mendukung industri dalam negeri, pemerintah harus memperbaiki infrastruktur dan membuat kebijakan yang melindungi produk dalam negeri. Pola seperti itu dilakukan Malaysia. Negeri jiran itu menyadari kehadiran barang Cina akan mengancam kelangsungan industri lokal.


Langkah yang Seharusnya diambil Menurut Ahli:

Kebijakan Voluntary Export Restraint (VER) sebenarnya dapat diterapkan Indonesia. Kebijakan hukum ini pernah dilakukan Amerika Serikat (AS) ketika negaranya diserbu oleh produk Cina. Dengan VER, AS dapat meminta Cina untuk secara sukarela membatasi ekspornya ke AS. Indonesia dengan Cina dapat melakukan hal serupa dengan VER yang memungkinkan Cina mau membatasi ekspornya ke Indonesia. Diharapkan dengan adanya hal ini, dapat kembali ke titik keseimbangan perdagangan (Balance Of Trade), Mendorong negara lain untuk membuka pasarnya untuk Indonesia, karena Indonesia sudah membuka pasar yang seluas-luasnya bagi produk asing. Tugas Indonesia adalah mendorong negara lain untuk Open Market, Menerapkan SNI dan National Single Window pada sektor-sektor strategis di Indonesia. Tetapi untuk SNI yang perlu diwaspadai adalah Cina telah membeli 6.779 SNI yang telah ditetapkan oleh BSN, sehingga Cina dapat memproduksi semua produk Indonesia yang telah memiliki SNI. Survei Kemenperin menunjukkan adanya indikasi persaingan tidak seimbang antara produk dalam negeri dan produk asal Cina. Survei itu antara lain menemukan indikasi tindakan dumping pada 38 produk yang diimpor dari Cina melalui skema ACFTA. Hasil survei tersebut juga dijadikan pedoman untuk dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah.

Solusi lainnya adalah optimalkan Agreed Minutes yang telah disepakati. Agreed Minutes of the Meeting for Further Strengthening Economic and Trade Cooperation adalah kesepakatan kedua, Indonesia dengan Cina terhadap sejumlah langkah bersama yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh sektor tertentu di Indonesia yang terkena dampak ACFTA. Kemudian juga mengefektifkan fungsi Komite Anti Dumping serta menangani setiap kasus dugaan praktek anti dumping dan pemberian subsidi secara langsung oleh negara mitra dagang, lalu Mengefektifkan fungsi Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) termasuk Restrukturisasi dan Renegosiasi skema perdagangan bebas ACFTA yang saat ini telah di upayakan KADIN dan YLKI. Selain itu Indonesia perlu dapat memanfaatkan ACFTA bukan sebagai ancaman, tetapi peluang sebelum tahapan Highly Sensitive List di tahun 2018. Walaupun terdapat dampak Injuries atas keikutsertaan Indonesia dalam ACFTA yang sangat luar biasa, baik dimensi hukum maupun ekonomi.


Kesimpulan yang dapat saya ambil:

Sekarang ini nyaris tak ada keunggulan kompetitif Indonesia menyongsong era perdagangan bebas ASEAN-China. Bahkan, keunggulan komparatif pun, terkait kekayaan sumber daya alam yang bisa dijual misalnya, Indonesia masih harus bersaing keras dengan negeri jiran Malaysia.

Karena itu, perjanjian kawasan perdagangan bebas ASEAN-China ini dari segi kepentingan ekonomi Indonesia ke depan  tidak sekadar perlu direnegosiasi pemberlakuannya, tapi layak ditinjau ulang secara keseluruhan. Sebab jelas sekali posisi Indonesia cenderung sangat tidak diuntungkan.

Perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan Indonesia dengan negara lain, idealnya ditempuh dengan negara-negara yang tak memiliki produksi barang dan jasa yang relatif sama dengan Indonesia. Sehingga rezim perdagangan bebas tidak akan memukul sektor industri manufaktur, sektor pertanian, maupun UMKM dalam negeri. Sebaliknya kita justru akan memiliki keunggulan komparatif terhadap negara mitra.

Dalam konteks inilah, Indonesia mestinya mengadakan perdagangan bebas dengan negara-negara yang perekonomiannya telah memasuki tahap industri lanjut (pasca-industry), bukan negara-negara sedang berkembang. Mereka relatif tidak lagi mengandalkan sektor pertanian atau manufaktur, melainkan sudah beralih kepada industri berteknologi tinggi seperti komputer dan peranti lunak komputer.
 
 
 
Refrensi :